Ibn Al-'Arabi adalah penganut faham
Tauhid Wujudi bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini. Pemikiran yang
selalu menjadi sorotan tajam dari kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi
landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada
pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan
istilah wahdatul wujud dalam kitabnya namun istilah ini dicetuskan oleh
orientalis. Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya
adalah wahdatul wujud.
Dalam menjelaskan konsep wahdatul
wujud Ibn Arabi mengungkapkan:
"ketahuilah bahwa wujud ini
satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan
ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah
yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan
lahir itulah yang dikenal dengan Insan Kamil".
Ia juga menjelaskan:
"Ketahuilah bahwa Tuhan segala
Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta'ayun
(pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir
dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan,
kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw -bahwa kepada
Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan
pertama (ta'ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang
Teragung ini.
Ketahuilah bahwa segala nama dari
nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan
'mahiat' atau 'ain sabitah' (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki
gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan
segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini.
Sedang Haqiqat Muhammadiyah merupakan gambaran dari nama 'Allah' yang
menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang
ada dan Allah Swt sebagai Tuhannya. Haqiqat Muhammadiyah yang mengatur gambaran
alam seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya, disebut dengan Rab al-arbab
(Allah Swt)."
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud
dengan Haqiqat Muhammadiyah di sini bukanlah Nabi Muhammad sebagai manusianya
namun Haqiqat Muhammadiayah adalah Asma dan Sifat Allah serta Akhlaqnya. Nabi
muhammad disebut dengan Muhammad karena Beliau mampu berakhlaq dengan seluruh
akhlaq ketuhanan tersebut.
Selanjutnya Ibn Arabi juga
mengatakan:
"ketahuilah bahwa yang ada
hanya Allah beserta sifatNya, af'alNya maka semuanya adalah Dia, denganNya,
dariNya dan kepadaNya. Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka
binasalah alam ini secara keselurhan, kekalnya alam ini dengan penjagaanNYa dan
penglihatanNya kepada alam. Akan tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan
cahayaNya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan
itulah yang disebut dengan hijab."
Jadi asma dan sifat itulah yang
disebut dengan Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut.
Oleh sebab itu Ibn Arabi mengungkapkan:
"Alam pada hakikatnya adalah
satu namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja".
Maksudnya hakikat alam tadi berasal
dari Zat Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul,
artinya alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia
menyatakan:
"Maha Suci Allah yang
menciptakan segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi."
Artinya penampakannya tiada lain Dia
juga, yang tampil dariNya adalah Dia juga.
Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf
Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya:
"wujud alam ini tidak
benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan
memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta'ala.
Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Zat Allah, karena ia merupakan wujud
yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dariNya. Karena ia bukan wujud
kedua yang berdiri sendiri disamping Allah."
Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah
namun pancarannNya dengan kata lain hijabnya. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan
Willian dalam salah satu karyanya mengenai Ibn Arabi: "Hanya satu wujud
dan seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu."
Kesimpulannya yang tampak itulah makhluk cipatanNya sedang ZatNya tetaplah
ghaib. Hal ini dijelaskan oelh Ibn Arabi sebagai berikut:
"Allah nyata ditinjau dari
penampakanNya pada cipatanNya dan batin dari segi Zatnya."
Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat
Allah pada lingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan
dan keagungan yang abadi. Zatnya merupakan sumber pancaran yang tak pernah
habis keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi
yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka
perbendahataan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya
yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan
kesempurnaanNya dalam pentas alam yang maha luas.
Ibn Arabi berkata: "Alam maujud
atau mengada denganNya".
Tajalliyat al-Wujud dengan gambaran
global dalam tiga hadirat:
1. Hadirat Zat (Tajalliyat Wujudiya
Zatiya) yaitu pernyataan dengan diriNya untuk diriNya dari diriNya. Dalam hal
ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal dengan
Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah terbebas dari segala sifat, nama,
kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang dikenal dengan rahasia
dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia merupakan
penampakan Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan yang
mutlak.
2. Tajalliyat Wujudiya Sifatiya yang
merupakan pernyataan Allah dengan diriNya, untuk diriNya, pada penampakan
kesempurnaanNya (asma) dan penampakan sifat-sifatNya yang azali. Keadaan ini
dikenal dengan wahdah. Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlah dalam
hiasan kesempurnaan ini lah yang dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah
(kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak
denganjalan faid al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung
dari Zat Allah). Dalam keadaan ini tampillah al-A'yan as-Sabitah (esensi-esensi
yang tetap) atau ma'lumat Allah.
3. Tajalliyat Wujudiyah Fi'liyah
(af'aliyah) yaitu pernyataan Haq dengan diriNya untuk diriNya dalam fenomena
esensi-esensi yang luar (A'yan Kharijah) atau hakikat-hakikat alam semesta.
Keadaan ini dikenal dengan mutlaq dengan ZatNya, sifatNya dan perbuatanNya
dengan jalan limpahan yang suci (al-faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada
gambaran esensi-esensi luar (A'yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang
kongkrit yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya.
Allah Swt merupakan awal dari
tajalliyat wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari
ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut
yang berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq
dan kepada yang Haq, baik dalam tahap Zat, Sifat dan Af'al. semuanya adalah
penampakan dari hakikat yang satu.
Namun apakah berarti alam adalah
Allah dan Allah adalah alam. Bisa dikatakan 'ya' atau 'tidak', sebagaimana yang
beliau ungkapkan dalam salah satu karyanya:
"Dalam hal ini ada sebagian
golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya,
mereka berkata tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah
dan Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka
belim benar benar mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqun. Kalau mereka
mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin maka meraka tidak akan berkata
demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan
ilmu dan penyingkapan."
Disamping itu penyatuan antara
manusia dan hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil.
Hal ini ia jelaskan dalam sebuah kitabnya:
"Ittihad adalah mustahil karena
dua zat menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada
satu wajah selamanya ditinjau dari ZatNya."
Dari pernyataan ini jelas beliau
tidak berpaham panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatulwujud tersebut?
Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber
segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Zat tersebut.
Sedangkan keadaan yang dikenal dngan Haqiqat Muhammadiyah (A'yan sabitah,
wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan penampakan atau bayangan dari
Zat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat
(tajalliyat wujudiyah fi'liyah atau a'yan kharijiyah) adalah bayangan dari
wahdah atau Haqiqat Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat Yang Suci.
Lebih jelasnya alam ini (a'yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma
Allah yang dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun A'yan Sabitah. Sedangkan
Asma adalah penampakan dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu
yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Zat Allah,
sebagaimana bayangan suatu benda.
Penjelasan diatas dikuatkan dengan
perkataan Ibn Arabi dalam kitab Futuhat:
Jika Engkau nyatakan: "Tiada
sesuatupun yang setara denganNya maka hilanglah bayangan sementara bayangan
terbentang maka hendaklah engkau memperhatikan lebih teliti."
Dalam kitab Al-Jalalah beliau
menjelaskan:
"Segala sesuatu memiliki
bayangan dan bayangan Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan
terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah
engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila diliputi
oleh cahaya maka bayangannya ada padanya."
Bayanganyang dimaksud di sini adalah
alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa
cahaya yang datang dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai
cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beraam cermin.
Begitu pula Allah Esa dari segi ZatNya dan berbilang dari segi penampakanNya
dalam gambaran serta bayanganNya dalam cahaya. Jadi jelas bahwa sebenarnya alam
ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau dikenal dengan batil. Ibn Arabi
menjelaskan:
"sebenar-benar ungkapan yang
dikatakan oleh orang Arab bahwa; "segala sesuatu selain Allah adalah
batil" karena siapa yang keberadannya tergantung kepada yang lain maka dia
adalah tiada."
Ia juga mengungkapkan dalam Risalah
al-Wujudiyah:
"Sesungguhnya engkau tidak
pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di
dalamNya atau bersamaNya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada."
Untuk menjelaskan perkataan ini ia
mengutip perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: "Aku mengenal Allah
dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan." Artinya Dialah Yang
Lahir dan Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga dalam kitabnya
Ar-risalah Al-Wujudiyah:
"Dialah Yang Awal tanpa
berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa
tersembunyi."
Hal ini jika difahami berarti bahwa
manusia tidak memiliki keberadaanyang independen dalam arti kata keberadaannya
pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya
manusia tiada yang ada Allah. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau
ayat Allah yang pada hakikata adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang
sifatnya khayal berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata.
Dalam Fusus al-Hikam Ibn Arabi
mengungkapkan:
"Ketahuilah bahwa hadirat
khayal merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segal seuatu dan yang
bukan sesuatu."
Jadi jelas bahwa alam ini adalah
fana atau khayal danyang kekal dan tampak adalah ZatNya Yang Suci dengan
penampakan-penampakan yang indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaanNya yang
tiada batas."
Di lain bukunya Ibn Arabi mengungkapkan:
"Tidak ada dalam wujud ini
selain Allah, kita walupun ada (Maujudun) maka sesungguhnya keberadaan kita
denganNya, barang siap yang keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk
dalam hukum ketiadaan."
Maksudnya ialah bahwa Allah ada
dengan sendiriNya dan tidak mengambil keberadaannya dari yagn lain. Sedangkan
alam adalah ada karena Allah mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaanyang
mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara
wujud dan maujud. Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud
merupakan isim maf'ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa
ditafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada,
sedang maujud adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain. Maujud
merupakan 'objek' yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang
lain. Jadi sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah
keberadaan yang sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati.
Keberadaannya disebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada
Wujud Sejati. Namun jia sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia
tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang
dimaksud dengan Wahdat al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu.
Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam.
Dalam menerangkan wahdatulwujud Ibnu
Arabi kadang mengutip kuplet berikut, sebagaimana yang termaktub dalam kitab
al-Alif:
* Dalam segala sesuatu Dia memiliki
ayat
* Menunjukkan kenyataan bahwa Dia
adalah Satu.
Kesatuan wujud ini juga dapat
difahami dari sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam menerangkan
masalah Wahdat al-Wujud yaitu: Kanallahu wala syai'a ma'ahu artinya 'dahulu
Allah tiada sesuatu apapun besertaNya'. Disempurnakan dengan perkataan wahuwal
aana 'ala makaana artinya 'sekarang Ia sebagaimana keadaanNya dahulu'. Maksud
dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah
selamanya dan segalaNya pada sisiNya adalah tiada. 'Tiada Tuhan selain Allah'
artinya segala sesuatu berupa alam yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah
yang pada hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada bisa dijadikan
Tuhan oleh manusia dan yang pada hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha
Suci yang bernama Allah.
Yang dapat disimpulkan dari
penjelasan di atas ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak.
Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka
alam bukanlah Allah. Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan
sendirinya dan mustahil ada wujid disamping Allah ataupun diataNya atau
dibawahNya atau ditengahNya atau didalamNya atau diluarNya maka alam adalah
penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain allah jua adanya.
Dibalik itu semua dalam memahami hal
ini bukanlah cukup dengan logika namun harus dibuktikan dengan penyaksian
sebagaimana pernyataan Ibn Arabi:
"Tauhid adalah penyaksian
danbukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang
siapa hanya mengetahui ia belum bertauhid."
Jadi beginilah yang dapat difahami
dari Wahdat al-Wujud. Permasalahan Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan
konsep Wahdat Wujud.
Al-Hirah (Ketakjuban, Kebingungan,
Laut Tanpa Pantai, Anggur Keabadian)
AL-Hirah merupakan ketakjuban dan
puncak dari pengenalan akan Allah yang dalam hal ini Ibn Arabi menjelaskan:
"Uluhiyyat (ketuhanan) dapat
dikatakan karena ia merupakan tawajjuh (kehendak) Zat untuk mewujudkan semua
hal yang mungkin, adapun Zat tidaklah dapat dikatakan namaun disaksikan."
Hal ini mungkin dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Zat Allah Esa dan Tunggal adanya
namun tidaksatu makhlukpun dapat mengetahui hakikat Zat tersebut serta segala
potensi yang ada pada Zat Allah. Penyaksian akan ZatNya bisa terjadi pada orang
tertentu dan penyaksian itu bukanlah meluputi akan keadaan ZatNya. Ol;eh sebab
itu tidak bisa dikatakan karena segalanya luluh dan fana ketika penyaksian itu
terjadi. Sedangkan Uluhiyat bisa dikatakan karena Ia berhubungan dengan segala
yang mungkin. Dalam al-Quran Allah berfirman:
Wayuhazzirukumullahu nafsah
Artinya: Allah melarang kamu untuk
berpikir tentang diri (Zat)Nya. Ali Imran 28.
Pada ayat yang lain, Allah
berfirman:
Wamaa qadarullahu haqqa qadrih
Artinya: dan mereka tidak mampu
memperkirakan Allah dengan sebenar-benar perkiraan, Al-An'am 91.
Di samping itu Kalimat Allah atau
seala yang mewujud karenaNya atau segala yang berasal dariNya tidak terhingga
atau tidak terbats, oleh sebab itu tidak ada bats dalam mengenal Allah Swt.
Jadi yang diketahui hanya keesaanNya sedang kuasaNya tanpa batas.
Ibn Arabi menjelaskan dalam
tafsirnya mengenai ayat terakhir daru surat al-Kahfi:
"Katakanlah jika lautan huyuli
(asal keberadaan alam semesta) yang menerima berbagi macam gambar yang
mewuudkan segala ilmu Allah dijadikan sebagai tinta untuk menuliskan segala
makna dan hakikat dan roh yang ada pada ZatNya maka air lautan akan habis
sebelum habisnya kalimat Allah, karena ia tidak terhingga adanya. Tidak mungkin
satu yang terbatas bisa mengibaratkan Yang Tidak Terbatas."
Jika dikaitkan dengan dua aspek
yaitu tanzih dan tasybih, maka aspek tanzihNya adalah ketidak terbatasan Zat
Allah atau Maha SuciNya Ia dari segala ikatan dan keterbatasan. Sedang aspek
tasybihNya adalah kalimatNya atau fenomena segala alam ini yang mewujud denganNya.
Alam ini sendiri juga tidak terbatas, sebagaimana kalimat Allah tidak terbatas.
Jadi puncak pengenalan akan Allah adalah ketidak mampuan untuk mengenalNya dan
ketakjban akan keMaha BesaranNya. Sebagaimana Nabi bersabda:
Allahumma la nuhshi tsanaan 'alaika
anta kama atsnaita 'ala nafsika
Artinya: "Ya Tuhan kami kami
tidak mampu menghumpun pujian kepadaMua sebagaimana Engakau memuji diriMu
Sendiri."
Abu Bakar berkata: "ketidak
sanggupan untuk mengenal Allah adalah pengenalan. Oleh sebab itu Abu Talib al-Makki
berkata: "tidak mengenal Allah selain Allah." Nabi Saw juga pernah
bersabda: "Rabbi zidni fika tahayyuran" yang artinya : "Wahai
Tuhanku tambakanlah kepadaku keta'juban." Hal ini dita'wilkan oleh Ib
Arabi sebagai kesinambunan takalliyat Allah kepada Nabi Saw. Kesinambungan
tajalliyat adalah bertambahnya senantiasa ilmu pengenalan akan Allah dan itu
tentunya tiada batas.
Nabi Muhammad Saw merupakan jalan
petunjuk kepada ketakjubanyang membaw panji pujian kelak dihari kiamat.
Beliaulah hamba yang paling mengenal Allah. Oleh sebab itu seorang tidak akan
mampau mengenal Allah kecuali melalui jalan atau cermin Muhammad Saw. Ibn Arabi
menjelaskan dalam kitab fusus al-Hikam:
"Allah berfirman:
"sesungguhnya sahabatmu tidaklah sesat dan salah: an-an'am 2, atau Ia
tidak takut dalam keheranannya karena Ia mengetahi bahwa puncak dalam
pengenalan akan Allah adalah hirah (ketakjuban). Maka barang siapa yang sampai
dalam keadaan ini maka ia telah beroleh petunjuk dan dia adalah yang menunjuki
dan menjelaskan dalam penetapan ketakjuban."
Ibn Arabi menyebutkan: " Yang
Haq adalah lautan dasarnya adalah azali pantainya adalah abadi." Inilah
lautan yang tiada tepi, ia melantunkan syair dalam ketakjuban:
* Aku terkesima pada Samudera dantap
pantai dan Pantai tanpa samudera
* Pada Cahaya pagi tanpa kegelapan
dan Malam tanpa fajar
* Pada dunia tanpa tempat yang
diketahui oleh pagan dan pendeta
* Pada kubah biri langit, menjulang
tinggi dan berputar
* Kemahakuasaan adalah pusatNya dan
pada bumi yang subur tanpa kubah dan tempat, tersembunyi rahasia.
Tasybih dan Tanzih
Permasalahan Tasybi dan Tanzi juga
merupakan polemik dari daulu ingga sekarang. Dalam al ini Ibn Arabi berpendapat
bahwa dalam mengenal Allah manusia harus melihat TanzihNya (Kesecuian Allah
dari segala sifat yang baharu) pada TasybihNya (KeserupaanNya dengan yang
baharu) dan tasybihNya pada tanzihNya. Artinya untuk mengenal Allah harus
menggabungkan dua aspek tadi sekaligus. Ibn Arabi sering mengutip perkataan Abu
Sa'id Al-Kharraj: " Aku mengenal Allah dengan menggabungkan dua hal yang
bertentangan." Menurutnya apabila seorang menganal Allah hanya dengan
aspek tanzih berarti dia telah membatasi kemutlakanNya. Karena tanzih berarti
menafikan segala sifat bagi Allah sperti yang dilakukan ole kalangan Mu'tazila yang
melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tak bisa
dikenal dan dijangkau. Al ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan
manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybih saja seperti
yang dilakukan kalangan al_mujassimah maka mengakibatkan keserupaan Tuhan
dengan yang baharu.
Dalam kitab Fusus al-Hikam Ia
mengatakan:
"Pensucian dari orang yang
mensucikan merupakan pembatasan bagi yang disucikan, karena ia telah
mengistimewakan Allah dan memisahkanNya dari sesuatu yang menyerupai, jadi
pensucianNya dari suatu sifat yang wajib merupakan keterikatan dan
keterbatasan, maka tidak ada di sana kecualai Yang terikat dan Maha Tinggi
dengan kemutlakanNya dan ketidak terbatasanNya."
'Abd al_raziq al-Qasyani menjelaskan
mengenai hal ini bahwa tanzih berarti mengistimewakan Allah dari segala yang
baharu yang sifatnya materi dan dari segala yang tidak pantas baginya pensucian
dari sigat materi, hal ini berarti bahawa setiap seuatu yang berbeda dari yang
lain maka ia tentu memiliki sigat yang bertentangan dari yang lain tersebut.
Dengan begitu ia menjadi teriakt denagn suatu sifat dan erbatas dengan satu
batasan. Jadi tanzih tersebut merupakan pembatasan. Lebih jelasnya, bahwa yang
mensucikan telah mensucikan Allah dari sifat materi dan menyamakanNya dengan
sifat rohani yang suci. Dengan begitu ia telah mensucikan Allah dari
keterbatasan namun dengan sendirinya ia telah membatasNya dengan kemutlakan,
sedang Allah Maha Suci dari ikatan keterbatasan dan kemutlakan, akan tetapi Ia
Maha Mutlaq tidak terikat oleh tanzih maupun tasybih juga tidak menafikan
keduanya. Ibn Arabi juga menjelaskan:
"Tidak ada yang serupa
denganNya" potongan ayat ini mengisyaratkan tanzih, dan "Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat" potongan ayat ini mengisyaratkan tasybih.
Abd Karim al-Jily menerangkan
mengenai hal ini sebagai berikut:
"Yang mensucikan mengosongkan
Tuhan dari segala sifat sehingga dia menghilangkan kuasa Tuhan, yang
menyerupakan Tuhan menghiasaiNya dengan sifat yang tak pantas aritnya
memakaikan Tuhan dengan sifat selainNya (Mujassimah) sedang yang berada di
antara keduanya (tidak mengosongkan dan tidak memakaikan) artinya seorang yang
'arif yang beada antara tasybih dan tanzih tidak menanggalkan apa yang pantas
bagi Allah dan menyifatiNya dengan pakaian atau sifat yang tidak pantas
bagiNya. Bahkan ia berkata Allah adalah Yang Lahir dan Yang Batin atau ia
menyifati Allah dengan Lahir dan Batin. Aspek Batin merupakan hukum
kesempurnaan bagiNya sedang aspek Lahir merupakan nyatanya Ia dalam segala yang
ada."
Ibn Arabi menjelaskan dalam sebuah
syair:
* jika engkau mengatakan dengan
tanzih maka engakau membuatNya terikat
* jika engkau mengatakan dengan
tasybih engkau membuatNya terbatas
* jika engakau katana dengan dua hal
tadi maka engkau benar
* engkau menjadi imam dalam ma'rifat
dan menjadi penghulu.
Penafsiran Ibn Arabi tentang tanzih
dan tasybih sesuai dengan doktrin ontologisnya tentang wahdatulwujud, yang
bertumpu pada perumusan ambiguous:
"Dia dan bukan Dia" (huwa
la huwa) sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam
perumusanini terkadnung dua bagian jawaban:
bagian positif, yaitu 'Dia' dan
bagian negatif, yaitu 'bukan Dia'.
Bagian pertama menyatakan bahwa alam
identik dengan Tuhan. Bagian terakhir menegaskan aspek tanzih Tuhan. Dapat pula
dikatakan bahwa penafsiran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih sejalan denagn
prinsip memadukan segala hal yang bertentangan. Misalnya antara Yang Satu dan
yang banyak, Yang Lahir dan Yang Batin. Oleh sebab itu dinaytakan Hakikat Muhammad
lah yang menghimpun antar aspek tanzih dan tasybih antara Qran dan Furqan
antara Jama' dan Tafsil.
Ada ungkapan-ungkapan kaum sufi yang
mengisyaratkan tasybih yang dikenal dengan syatahat seperti ungkapan Biyazid:
"Maha Suci Aku betapa Agung keadaanKu." Begitu juga imam Junaid:
"Tidak ada dalam jubah ini selain Allah." Al-Hallaj juga berkata:
"Ana al-Haq." Abu Bakar as-Syibli berkata: "Aku adalah titik
dibawah Ba." Perkatan ini semua mengandung tasybih al-Haq dengan yang
baharu. Ada sebagian kaum yang mengkafifkan orang yang berkata demikian dan ada
yang menta'wilkan. Kaum sufi berkata demikian dalam keadaan iluminasi dan
menyaksikan Wajah Yang Satu hingga mereka menyatakan ungkapan syatahat
(ungkapanyang janggal dalam keadaan fana). Sedangkan Fir'aun mengatakannya
dalam kesadaran penuh akan keberadaan nafsunya dan keberadaan dirinya sebagi
Tuhan dan tidak mengaku adanya Allah.
Ini semua berkaitan dengan ayat-ayat
muhkamat dan mutasyabihat. Sepanjang sejarah pembicaraan ini taidak pernah
habisnya, karena kasus Keesaan Tuhan terus bergulir. Ulama salaf mengimani ayat
mutasyabihat dalam batasan tdiak menta'wilkan sebagaimana ungkapan Imam Malik:
"Istiwa' itu diketahui artinya, kaifiyyahnya tidak diketahui,beriman
dengannya wajib, bertanya mengenainya bid'ah." Ulama khalaf
menta'wilkannya, ada yang menta'wilkannya dengan berkuasa dan mengatur. Sedang
kaum Mu'tazilah mensucikan Tuhandari segala sifat apa lagi sifat yang bahari
dengan alsan jika sifat itu qadim maka akan banyaklah yang qadim. Kaum mujassimah
menyamakanNya dengan yang baharu dan seterusnya.
Berkaitan dengan muhkamat dan
mutasyabihat ini dijelaskan dalam al-Quran surat Ali-Imran ayat 7:
Huwal lazi anzala…..
Artinya: Dialah yang menurunkan
al-Quran kepadamu diantaranya ada yang muhkamat itulah ummul kitab (induk kiab)
dan yang lainnya mutasyabihat."
Jadi ayat yang muhkamat mewakili
aspek tanzih sedang yang mutasyabihat mewakili aspek tasybih. Mengenai ayat ini
Ibn Arabi menafsirkan ayat muhkamat adalah yang mengandung makna yang satu yang
merupakan asal kitab dan tidak dimasuki penyerupaan dengan yang baharu, sedang
yang lain mutasyabihat. Mutasyabihat ini yang mungkin memiliki dua makna atau
lebih atas samr di situ antara yang haq dan yang batil, hal ini dikarenakan
bahwa Allah memiliki Wajah Yang Esa dan Kekal setelah fananya makhluk yang
tidak mengandung pluralitas dan keterbilangan disamping itu Allah juga memiliki
wajah-wajah yang banyak sesuai dengan cermin-cermin penampakanNya berdasarkan
potensi penampakanNya dan seluruhnya bersumber dari Wajah Yang Satu tadi. Pada
wajah yang banyak inilah samar antara Haq dan yang batil maka turunlah ayat
al-Quran agar ayat-ayat mutasyabihat diletakkan pada wajah-wajah yang sesuai
dengan potensinya hingga setiap sesuatu berkaitan dengan yang lain sesuai dengan
kesiapannya. Maka dari sinilah timbul ujian dan cobaan. Adapun orang 'arif yang
muhaqqa yang mengenal Wajah Yang Kekal dalam berbagai gambaran dan bentuk
mengenal wajah tersebut dari wajah-wajah yang mustasyabihat maka ia
mengembalikannya kepada muhkamat melaksanakan perkataan penyari:
"Sungguh Wajah hanyalah Saturda
Namun jika engkau perbanyak cermin
Ia menjadi terbilang."
Adapun orang yang terhijab (atau
orang yang bengkok hatinya) dari kebenaran maka dia akam mengikuti yang
mutasyabihat karena ia terhijab dari Yang Satu oleh yang banyak dan memilih
keyakinan sesuai dengan seleranya untuk menyebarkan fitnah.
Jalan untuk mengenal yang muhkamat
dan mutasyabihat adalah lewat cermin Muhammad Saw mengikuti ajarannya dengan
memasrahkan pengetahun mengenai hal tersebut kepada Allah agar Allah membukakan
kepad akita dan mengenalkan diriNya kepada kita. Hal ini yang dijelaskan oleh
Ibn Arabi dalam kitabya Fusus al-Hikam dalam Fas Nuh As:
"Ketahuilah bahwa Allah
menuntut dari hambanya untuk mengenalNya sebagaimana yang telah diterangkan
oleh Lisan segala syariat dalam menyifatiNya, maka akal tidaklah boleh
melampauiNya sebelum datangnya syariat, ilmu mengenaiNya pensucian dari
sifat-sifat baharu, jadi seorang 'arif adalah orang yang memiliki dua
pengenalan tentang Allah: pengenalan sebelum datangnya syariat dan pengenalan
yang ia peroleh dari syara', akan tetapi syaratnya hendaklah ia menyerahkan
ilmu tersebut kepada Allah, jika Allah menyingkapkan baginya tentang ilmu itu
maka hal itu merupakan anugrah dari pintu pemberian Zat Allah."
Kesimpulannya Allah Mutlak dengan
keterbatasanNya dan Terbatas dengan kemutlakanNya. Dalam kata lain Allah Mutlak
dari segi ZatNya Yang Maha Suci dari seala sifat dan terbatas dalam kemutlakan
dengan nama-nama, sifat-sifat, af'al, dan mazahir kauniyah (fenomena-fenomena
alam) yang merupakan tajalliyatNya yang tak terhingga. Jadi penampakanNya itu
sendiri tidak terbatas, karena kalimatNya tidak pernah habis. Inilah yang
disebut sebagai lautan yang tak bertepi.Dialah Yang Maha Esa dalam banyak rupa
dan rupa yang banyak adalah pada hakikatnya wajah-wajah dari Zat Yang Esa. Yang
banyak adalah tiada dan yang ada hanya Zat yang Esa. Dialah jami' atau
penghimpun segalanya dan fariq yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa.
Aspek JamalNya (keindahan) mewakili tasybih dan aspek JalalNya (keagungan)
mewakili tanzih keduanya mewujudkan Kamal (kesempurnaan) bagi ZatNya. Namun
keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga.
Di atas semua itu pengenalan akan
Allah adalah ketidak tahuan. Kelemahan untuk mengenalNya adalah pengenalan.
Mengutip perkataan Abu Talib al-Makki: "Tiada ada yang mampu mengenal,
"tidak ada yagn setata denganNya dan Dia Maha Mendengar dan Maha
Melihat" kecuali "Tidak ada yang setara denganNya dan Dia Maha
Mendengar dan Maha Melihat".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar