Kamis, 07 September 2017

Tasauf dan Ma’rifat



                  

1. Pengertian
“Ma’rifat” dalam bahasa berarti tahu atau kenal, ilmu atau pengetahuan, diambil dari bahasa Arab ‘arafa. Dalam artian umum, ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam tasawuf, makrifat berarti mengetahui Allah SWT dari dekat, yaitu pengetahuan dengan hati sanubari.
Dengan makrifat seorang sufi lewat hati sanubarinya, dapat melihat Tuhan Allah SWT. Para sufi mengatakan, “kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. Makrifat itu merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Yang dilihat orang arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT”.
Pengetahuan dalam bentuk makrifat merupakan pengetahuan yang langsung ada pada Allah SWT, yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang diberi kemampuan menerimanya. Makrifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai daya yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Menurut para Sufi seperti yang dikemukakan oleh seoran sufi, Abu Bakar Al Kalabazi, bahwa Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya. (Ensiklopedi Islam 3, 1994 :130).

2. Hubungan Tasawuf dengan Ma’rifat.
Makrifat kadang-kadang dipandang sebagai makam dan terkadang dipandang sebagai haal. Antara makrifat dan mahabbah ada kesamaan dan ada perbedaan. Persamaannya keduanya menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya.
Zunnun Al-Mishry berkata,
Artinya : Aku kenal Tuhanku dengan Tuhanku juga, kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku. (Al Qusyairi : 315).
Menurut Zunnun tokoh utama dan pencetus paham makrifat berpendapat, bahwa pengetahuan tentang Tuhan Allah itu terbagi tiga, yaitu pengetahuan orang awam, pengetahuan ulama dan pengetahuan orang arif.
Pengetahuan orang awam tentang Allah pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh dengan perantaraan ucapan dua kalimat syahadat. Pengetahuan ulama mementingkan dalil dan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Allah disebut sebagai ilmu, bukan makrifat. Pengetahuan dalam bentuk makrifat menurut Zunnun, adalah pengetahuan tentang Allah di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Allah dengan hati sanubarinya. Makrifat ini adalah anugerah Allah kepada kaum sufi yang telah dengan ikhlas beribadat dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Allah. Dengan keikhlasan ibadat itulah, maka Allah menyingkapkan tabir (kasysyaf) dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Allah SWT. Dalam keadaan demikian, sufi dapat melihat keindahan Allah yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.
Dalam tasawuf terdapat komunikasi dua arah. Di satu pihak sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah, sedangkan di lain pihak Allah dari atas menurunkan rahmat-Nya. Ketika berlangsung komunikasi dua arah dalam bentuk makrifat, pengaruh akal dan penglihatan mata hilang, karena yang disaksikan seorang sufi hanyalah yang hakiki yaitu Allah melalui hati sanubari.
Al Qusyayri mengatakan ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Allah SWT.
a. Qalbu (Qalb, the heart) untuk mengetahui sifat Tuhan.
b. Roh (Ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan.
c. Sir (Sirr, hati sanubari, inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan.
Dari ketiga alat tersebut, Sir merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi kalbu. Sir merupakan alat yang digunakan oleh sufi untuk memperoleh makrifat. Oleh sebab sir bertempat pada roh dan roh bertempat pada kalbu, maka sir timbul serta dapat menerima makrifat dari Allah SWT, di kala roh dan kalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya. Tibalah saatnya bagi sufi ketika itu menangkap cahaya Tuhan yang diturunkannya. Kalbu tak ubahnya sebagai kaca, jika senantiasa bersih akan mempunyai daya tangkap sir yang benar, untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Allah SWT. Apabila cahaya cemerlang itu diperoleh, di kala itulah sufi bertemu dengan zat maha tinggi. Pertemuan dengan Allah, itulah puncak kebahagiaan.
Walaupun makrifat dapat menyingkapkan rahasia-rahasia Allah kepada seorang sufi, namun makrifat yang penuh tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia, lantaran keterbatasan manusia itu sendiri, disamping kemutlakan Allah SWT. Al Junaid mengatakan dalam hal ini, “Cangkir teh tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memeproleh makrifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya.
Setelah makrifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Zunnun mengatakan bahwa makrifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya yang harus berhiaskan akhlak Allah SWT
( ). Pergaulan orang arif bila telah sampai ke tingkat ini bagaikan pergaulan dengan Allah SWT. Siti Aisyah waktu ditanya tentang akhlak Rasulullah menjawab bahwa akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an. Menurut Zunnun ada tiga tanda orang arif :
a. Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya.
b. Tidak mengakui secara batiniah, ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriah (hukum syari’at)
c. Nikmat Allah SWT yang banyak itu tidak menggiringnya untuk melanggar larangan Allah SWT.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak tinggi yaitu akhlak ilahiyah.
Paham makrifat yang dikemukakan Zunnun itu diterima oleh Al Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena Al Ghazali adalah salah seorang figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Al Ghazali-lah yang membuat tasawuf menurut pola pikir tersebut menjadi halal dan dapat diterima oleh kaum syariat. Al Ghazali mengatakan, “Makrifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada”. Al Ghazali mengatakan, “Alat seorang sufi mendapatkan makrifat adalah kalbu, bukan panca indera atau akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (makrifat dan bukan falsafah). Al Ghazali mengatakan makrifat juga berarti memandang kepada wajah Allah SWT ( ). Selanjut-nya dia mengemukakan bahwa makrifat mengandung tujuan moral, kebahagiaan, cinta kepada Allah SWT dan fana di dalamnya. Jalan yang ditempuh kaum sufi mengandung tujuan meningkatkan akhlak terpuji melalui latihan jiwa, dan juga bertujuan mengganti akhlak tercela menjadi akhlak yang terpuji. Dengan kata lain, tujuan makrifat menurut Al Ghazali sejalan dengan tujuan makrifat menurut Zunnun, yakni mengacu pada moral ilahiyah.
Untuk dapat ma’rifat kepada Allah, haruslah melalui mujahadah, perjuangan yang sungguh-sungguh dan terus menerus melaksanakan jalan menuju Allah itu.
Firman Allah SWT :
Artinya : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (Q.S. Al Ankabut 29 : 69).
Orang-orang yang berjalan menuju Allah, ibarat jarum-jarum menuju gumpalan besi berani. Getaran magnit besi berani itulah yang lebih berperan sesungguhnya untuk mendekat, dibandingkan usaha jarum itu sendiri.
Sabda Rasulullah SAW (Hadis Qudsi),
Artinya : Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama dengannya. Ketika dia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku, dan jika dia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, Aku pun ingat kepadanya pada khalayak yang lebih baik. Dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka aku pun mendekat pula kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku berjalan maka Aku mendatanginya sambil berlari. (H.R. Bukhari Muslim).
Setelah dekat bahkan lengket dengan besi berani, si jarum tidak sadarkan diri dan tidak berfungsi sama sekali. Dalam keadaan demikian si jarum tidak menjadi besi berani, begitu pula sebaliknya. Begitulah orang yang ‘arif billah menggambarkan keadaan orang yang fana’ fillah.
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengatakan, perumpamaan orang arif yang sedang fana’ fillah, ibarat besi panas. Besi luluh dan lebur bersama api. Tidak dapat dibedakan mana yang besi mana yang api. Besi tidak panas, karenanya tidak membakar. Yang panas tetap api dan apilah yang membakar. Tapi karena begitu berhampirannya besi dengan api, sehingga tidak dapat dibedakan mana yang besi dan mana pula yang api. Walaupun demikian besi tidak akan jadi api dan sebaliknya. Begitu pulalah halnya orang ‘arif atau mursyid tidak akan jadi Allah dan sebaliknya. Yang memberi bekas – keramat misalnya – tetap Allah. Orang ‘arif atau mursyid menyalurkan wasilah, getaran, power tak terhingga ( ) yang langsung dari Allah SWT, melalui kekasih-Nya, wali-wali Allah, orang ‘arif, atau mursyid.
Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya menggambarkan hal yang sama, seperti strum listrik dengan kabel. Strum listrik bukan kabel dan sebaliknya. Strum tidak akan jadi kabel dan sebaliknya. Yang memberi bekas adalah tetap strum yang datang dan bersumber dari dinamo sentral listrik. Rumusan beliau ini berdasarkan firman afaki yang dikelola berdasarkan iptek dikonfirmasikan dengan firman kitabi, kemudian diaktualisasikan sehingga menjadi kenyataan melalui uji coba berpuluh-puluh tahun.
As Syekh Al Qusyayri memulai untuk menjelaskan tentang ma’rifah ini dengan mengemukakan Q.S. Al An’am 6 : 91.
Firman Allah SWT,
Artinya : Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (Q.S. Al An’am 6 : 91).
Dalam kitab-kitab tafsir tertulis ayat ini berarti,
Artinya : Mereka tidak mengenal Allah sebagaimana seharusnya Dia dikenal.
Sabda Rasulullah SAW,
Artinya : Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi bersabda “Landasan sebuah rumah adalah pondasinya. Landasan agama adalah pengenalan langsung terhadap Allah, keyakinan dan akal yang menjaga dari kekeliruan”. Aisyah bertanya semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, apakah akal yang menjaga dari kekeliruan itu ? Rasulullah menjawab : “Menahan diri dari ketidakpatuhan terhadap Allah dan bersemangat dalam mentaati-Nya”. (H.R. Ad Dailani)
Di kalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama serta sifat-sifat-Nya, dan berlaku tulus kepada Allah SWT dengan perbuatan-perbuatan-Nya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dengan segala cacatnya. Kemudian dia berdiri lama di depan pintu, kemudian dia senantiasa mengundurkan hatinya dari hal-hal duniawiyah yang rendah. Setelah itu dia menikmati kedekatan dengan Allah dengan segala keindahannya dan mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaan terhadap Allah. (Al Qusyayri : 311-312).
Dalam buku-buku tasawuf kita jumpai kalimat-kalimat yang terjalin menegaskan keeratan hubungan antara syariat, tarikat, hakikat dan makrifat itu.
Sabda Rasulullah SAW yang maksudnya, “Syariat itu perkataanku, tarikat itu perbuatanku, dan hakikat itu ialah kelakuanku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar