1. MARTABAT AHADIYAT
2. MARTABAT WAHDAT
3. MARTABAT WAHIDIYAT
4. ALAM ARWAH
5. ALAM MISAL
6. ALAM AJSAM
7. ALAM INSAN KAMIL
1. Martabat Ahadiyat.
Ini adalah Martabat Tertinggi Ketuhanan. Tuhan digambarkan
sebagai Dzat yang tidak bisa disebut dengan apa pun. Inilah Tuhan Sejati bagi
manusia, tidak pandang bangsa dan agama. Dalam Islam sering disebut dengan
keadaan Kunhi Dzat atau Dzat semata. Para sufi Jawa yang banyak dipengaruh oleh
filsafat Hindu menyebutkan dengan istilah Aku. Pada keadaan ini, tidak ada
sesuatu selain Dzat Tuhan. Kosong hampa. Sunyi-senyap. Tidak ada sifat, nama,
atau perbuatan. Maka Ibn ‘Arabi pernah melontarkan gagasan kesatuan semua
agama. Hal ini bisa diterima jika dipandang dalam keadaan ini, yakni keadaan
Aku semata.
2. Martabat Wahdat.
Dalam Martabat Ahadiyat, Tuhan adalah Dzat Suci yang berdiri
sendiri. Tak ada yang lain selain Diri-Nya. Dia rindu untuk dikenal, namun
siapa yang akan mengenal-Nya karena tidak ada yang lain selain Diri-Nya. Tuhan
berkehendak menciptakan makhluk agar Diri-Nya dikenal oleh makhluk tersebut.
Inilah proses awal penciptaan. Tuhan hendak menciptakan makhluk. Untuk
menciptakan sesuatu pastilah menggunakan bahan. Bahan tersebut diambil dari-Nya
sendiri. Logis, karena tidak ada bahan lain selain Diri-Nya. Tidak tersisa
ruang sedikit pun untuk selain Diri-Nya,maka otamatis Tuhan mengambil bahan
dari Diri-Nya sendiri. Sebenarnya pencipaan ini lebih bersifat maknawi, Dia
tidak pernah membuat sesuatu yang baru, namun hanya menampakkan Diri dengan
penampakan lain atau tajalli.Tuhan menurunkan kualitas Diri-Nya, dari Dzat
Mutlak yang teramat Suci menjadi dua sebagaimana dibayangkan akal. Tidak
seperti itu sama sekali. Penurunan ini hanya sekedar ungkapan yang bermakna
simbolis. Sama halnya dengan air laut yang menampakan diri dengan penampakan
lain berupa gelombang.Sebenarnya tidak ada bedanya antara air laut dan
gelombang, keduannya adalah satu juga.
Inilah martabat Tuhan yang kedua yakni Martabat Wahdat. Dia
sudah melakukan proses pencipaan pertama. Ciptaan pertama-Nya ini berupa Nur
Muhammad atau Cahaya Muhammad. Ranggawarsita menyebutnya sebagai Syajaratul
Yakin atau Pohon Keyakinan. Ibnu ‘Arabi menjabarkannya sebagai Asyajaratul Kaun
atau Pohon Kejadian. Cahaya ini memiliki nama agar mudah dikenali. Orang-orang
Islam menyebut-Nya dengan sebutan Allah. Di berfirman : “Allah adalah Cahaya
bagi langit dan bumi.” Nur Muhammad bukan Tuhan tapi juga bukan makhluk. Ia ada
di tengah-tengah antara keduannya. Namun dalam Martabat Wahidiyat ini, Nur
MUhammad lebih bersifat ketuhanan. Allah yang di sembah orang-orang hakikatnya
adalah Tuhan yang sudah menurunkan Diri, bukan Tuhan Sejati. Tuhan Sejati itu
adalah Dzat Mutlak atau Aku.
3. Martabat Wahidiyat.
Penampakan atau tajalli Tuhan berikut ini adalah Martabat
Wahidiyat. Pada martabat ini, Nur Muhammad yang bernama Allah dan bersifat
ketuhanan menurunkan Diri menjadi Nur Muhammad yang bersifat kemakhlukan. Maka
cahaya ini tidak lagi sebagai Tuhan, namun sebagai makhluk yang masih berupa
satukesatuan cahaya. Disinilah terjadi proses pencitaan sebagaimana digambarkan
oleh Ibn ‘Arabi dalam pohon kejadian yang tidak pernah putus mengalir. Benih
tersebut berasal dari Cahaya Satu, dan Cahaya yang satu tersebut berasal dari
Dzat-Nya.
Jadi, jelaslah, benih-benih kejadian berasal dari Cahaya
Tuhan. Setiap penciptaan berasal dari-Nya. Setiap gerakan, tindakan, perkataan,
pemikiran, angan-angan, semuannya bermula dari benih tersebut. Tidak ada satu
gerakan pun dari makhluk yang lepas dari benih tersebut,sehigga Ranggawarsita
menganggap semua makhluk sebagai anak-anak Tuhan karena berasal dari benih-Nya.
Dalam martabat ini pula Tuhan melahirkan Kehendak-Nya.
Kehendak atau Iradat tersebut Dia salurkan dalam setiap benih kejadian.
Tumbuhlah benih tersebut menjadi akar yang menjalar ke bawah. Akar atau
Kehendak Tuhan inilah yang menjadi pondasi setiap ciptaan, maka segala sesuatu
memiliki akar kejadian yakni berada di bawah kendari Tuhan dan terjadi atas
kehendak-Nya.
Kehendak Tuhan merupakan ketetapan yang pasti atau takdir.
Tuhan menyimpan taikdir tersebut di suatu tempat yang tersembunyi hingga tak
satu pun yang mengetahuinya, kecuali orang-orang tertentu yang Dia beri
kekuasaan untuk mengetahuinnya. Tuhan pun berfirman: ” Sesungguhnya Allah
memiliki takdir (ketetapan) terhada segala sesuatu.” Dengan takdir inilah benih
tersebut tumbuh keatas menjadi batang. Batang tersebut mampu tumbuh keatas
karena memiliki kemampuan atau kudrat yang berasal dari Kudrat-Nya. Semakin
tinggi batang itu naik hingga bercabang menjadi dua. Inilah sifat makhluk
sejati, yakni bercabang menjadi dua yang saling berpasangan. Tuhan membuat
keadaan makhluk menjadi berpasangan sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya.
Dia memerintahkan agar manusia mengenal dua sifat yang saling berlawanan ini,
“Dan Aku menciptakan laki-laki dan perempuan agar mereka saling mengenal satu
sama lain.” Ini menjadi petunjuk bagi manusia untuk tidak dalam penampakan
kemakhlukan yang memiliki dua pasangan. Manusia yang masih mengagungkan salah
satu sifat pasangan dan mengesampingkan sifat lainnya akan tersesat. Padahal
dua-duanya berasal dari-Nya. Inilah martabat yang bersifat kemakhlukan namun
masih menjadi satu dan belum terpisah-pisahkan. Semua kejadian makhluk masih
berbentuk konsep yang tersimpan rapi dan terjadi di sisi-Nya.
4. Alam Arwah.
Konsep atau skenario Tuhan tidak akan berwujud nyata jika
tidak dimasukkan kedalam suatu wadah. Proses penampakan atau tajalli Tuhan
berikutnya adalah menciptakan wahana bagi kehendak-kehendak-Nya tersebut. Dalam
martabat ini, Tuhan menciptakan makhluk yang sangat halus yakni ruh. Ruh adalah
sarana sebagai sumber kehidupan. Ruh itu berasal dari Diri Tuhan. Mula-mula,
Ruh tersebut masih satu dan akhirnya terbagi-bagi menjadi banyak sekali.
Bagian-bagian ruh tersebut siap untuk mengisi tiap-tiap bentuk yang akan
diciptakan-Nya kemudian.
5. Alam Misal.
Keberadaan ruh sebagai sarana sumber kehidupan tidak akan
berguna jika tidak ada suatu yang dia masuki. Tuhan menciptakan beberapa bentuk
ciptaan melalui proses penurunan Diri. Dia mengambil Nur Muhammad sebagai
bahan-Nya. Maka inilah makhluk sejati, bukan Tuhan, karena berasal dari Nur
Muhammad yang bersifat kemakhlukan dan tidak berasal langsung dari Dzat Tuhan.
Ciptaan dalam Alam Misal ini berupa makhluk-makhluk halus atau gaib namun nyata
bentuknya seperti malaikat, jin, setan, jiwa, iblis, surga, neraka, dan
sebagainya. Ruh-ruh datang dan memasuki setiap bentuk gaib tersebut hingga
hiduplah mereka.
6. Alam Ajsam.
Bentuk-bentuk gaib pada Alam Misal di atas masih di rasa
kurang sempurna. Maka Tuhan menurunkan Diri dalam penampakan terluar berupa
benda-benda jasmani. Maka terlihatlah beragam materi dengan segala
pernak-pernik didalamnya. Ini adalah hijap atau diding penghalang yang paling
besar untuk melihat Tuhan karena dalam setiap materi tersebut dibungkus dengan
syahwat. Kebanyakan manusia akan tertipu dan sulit untuk kembali ke asal-usul
dirinya apabila terlena oleh penampakan fisik ini.
7. Alam Insan Kamil.
Pada akhirnya, Tuhan menurunkan Diri menjadi manusia
sempurna sebagai gambaran Diri-Nya yang sempurna. Melalui manusia sempurna
inilah Dia menikmati hasil ciptaan-Nya. Maka manusia dibekali akal dan hati
sebagai sarana kehadiran Tuhan. Kelebihan utama manusia dibanding dengan
makhluk lainnya adalah kemampuan untuk menampung kehadiran Tuhan hingga menjadi
wakil (khalifah) bagi-Nya. Melalui manusia sempurna inilah harapan-Nya untuk
mengenal dan dikenal akan terlaksana.
AKAL MANUSIA ADALAH SINGGASANA KEMAKMURAN-NYA
HATI MANUSIA ADALAH SINGGASANA KEMULIAAN-NYA DAN
KEMALUAN MANUSIA ADALAH SINGGASANA KESUCIAN-NYA.
Ketiga bagian tubuh manusia ini menjadi sarana vital
kehidupan, sebagai tempat hadir Tuhan untuk menikmati keelokan hasil karya-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar