Abu
Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam bukunya kitab al-luma’ fit tasawwuf. Di
terangkan adanya tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum terdapat
dalam kitab-kitab lainya. Ketujuh maqam itu ialah:
Maqam sabar, maqam tawakkal, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakkal, dan maqam ridlo (rela).
Maqam ke tujuh adalah maqam puncak yakni pembebasan hati dari segala ikatan dunia.yaitu menciptakan suasana hati yang netral dan memandang sepele terhadap dunia.
Ihsanuddin dalam kitab makrifat misalnya menyetir suatu syair yang menggambarkan sikap sufi terhadap dunia sebagai berikut:
# setiap apa yang dicipta Alloh, serta apa yang belum tercipta, tak berharga dalam hatiku, harta seperti sehelai rambut yang terlepas dari kepalaku #
Dalam kitab hikam diungkapkan suatu syair yang artinya sebagai berikut:
# seseorang hamba merdeka selama berjiwa qona’ah, sebaliknya seorang yang merdeka jadi hamba (budak) bila berkeinginan. Maka berqona’alah dan jangan tamak, tak ada sesuatu yang aib selain banyak keinginan #
Dalam ajaran tasawuf dunia (apa yang selain tuhan) itu di ibaratkan wanita bahu laweyan, yang molek tapi siapa yang mengawini tentu segera binasa. Hal ini diungkapkan dalam syair Bahar Thawil yang artinya sebagai berikut;
#apakah kamu ingin mengawini si laila sedangkan kamu tahu bahwa setiap yang mengawini dia tentubinasa #
Menurut al- Ghozali setiap sufi yang ingin mendapatkan penghayatan makrifat pada tuhan sementara waktu menempuh jalan kepada tuhan harus sanggup membelakangi dunia secara keseluruhan, karena makrifat pada tuhan tidak bisa di madu dengan dunia.
Fatwa ini didasari suatu hadist sewaktu emas belum di haramkan bagi pria, pernah suatu waktu nabi membuang cincin emas di tengah-tengah khotbah beliau. Sesudah turun dari mimbar menjawab pertanyaan hal itu di lakukan karena cincin itu menganggu konsentrasi ibadah khotbah beliau.
Upaya pemutusan ikatan keduniaan ini di mulai dengan pengalaman :
1. Maqam Taubat.
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat di kembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan orang khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan :
“Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari ghoflah (lalai mengingat tuhan)”.
Bagi golongan khowas atau orang yang telah sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa.
Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghoflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaranntasawuf adalah apabila telah tercapai maqam “attaubatu min taubatihii” yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan keasadaran akan taubatnya itu sendiri.
2. Maqam wara’
Dalam risalah al-qusyairiyah banyak membahas tentang makam wara’ beserta pandangan atau rumusan para sufi tentang hal ini. Wara’ adalah meninggalkan hal yang syubhat: tarku syubhat yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.
Abu bakar as-shiddiq mengatakan “Kami tinggalkan tujuh puluh pintu menuju yang halal lantaran takut jatuh pada satu pintu menuju haram”.
Wara’ memang salah-satu sendi etika islam yang sangat penting, oleh karena itu nabi bersabda yang artinya “Ibadah itu sepuluh suku, Sembilan dari padanya dalam mencari halal”. Jadi Sembilan persepuluh dari ibadah adalah mencari halal.
Pada hadist lain nabi bersabda yang artinya “hendaknya kamu menjalankan laku wara’, agar kamu jadi ahli ibadah”. Laku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas ke-islaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merukan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.
Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Alloh. Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Alloh ta’ala.
Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.
3. Maqam zuhud
sesudah maqam wara’ di kuasai mereka baru berusaha mengapai maqam (station) di atasnya, yakni maqam zuhud. Berbeda dengan wara’ yang pada dasarnya merupakan laku menjahui yang syubhat dan setiap yang haram, maka zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi.
Dalam hal ini ‘Abdul Hakim Hasan dalam bukunya al-Tashawuf fi al-Arabi mengatakan sebagai berikut :
Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasaranya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Inilah makna agamis daripada zuhud. Nabi bersabda: “jika kamu melihat seseorang dianugerahi zuhud di dunia dan cerdas nalarnya, maka kau dekatilah dia, bahwasanya dia adalah orang bijaksana……Dikatakan zuhud adalah setengah dari firman Alloh: “(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu; dan supaya kamu jangan selalu gembira terhadap apa yang diberikanya padamu” (al-qur’an, 57 ;23). Maka seorang zahid tidak gembira dengan dunia yang ada di tanganya, dan juga tidak bersedih hati dengan hilangnya dunia dari tanganya. Abu ustman berkata; “zuhud kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapa yang mengambilnya”.
Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi.
Misalnya Abu Sulaiman aal-Darani mengatakan :
“Sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain suf dengan uang tiga dirham di tanganya kok dalam hatinya menginginkan lima dirham”.
Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan :
“zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Alloh”.
Ruwaim mengatakan:
“zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati”.
4. Maqam Fakir
Mengenai maqam fakir, R.A.Nicholson dalam bukunya the mystics of islam mengatakan :
Fakir dan dervish adalah nama-nama di mana para sufi bangga untuk disebutnya, karena kedua itu bahwa dialah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan pikiranyan daripada tuhan. Kosongnya seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan kehidupan yang akan dating, dan tidak menghendaki apapun kecuali tuhan penguasa kehidupan masa kini dan masa yang akan dating-itulah fakir yang sesungguhnya. Fakir yang sedemikian itu adalah orang yang lenyap kesadaran keberadaan dirinya, sehingga dirinya tidak mendaku punya kemampuan, perasaan, dan perbuatan.
Di terngkan bahwa Dawud al-Thail tidak punya apa-apa terkecuali rumput kering untuk tikar, sebuah bata sebagai bantal, dan sebuah mangkok untuk minum dan mencuci.
Sebagai salah satu maqam dalam ajaran tasawuf maka fakir juga mendapat pembahasan perumusan yang bertingkat-tingkat disesuaikan dengan tujuan penyucian hati terhadap ikatan keduniaan. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah maqam fakir ini dibahas agak panjang lebar. Di antara perumusan-perumusan tentang fakir,
Misalnya al-muzayin mengatakan;
“jalan menuju Alloh itu lebih banyak dari bilangan bintang di langit, tak ada yang ketinggalan daripadanya terkecuali satu jalan saja, yaitu fakir, itulah yang paling lurus dari segala jalan”.
Al-Nuri mengatakan :
“sifat orang fakir itu diam saja ketika tak punya apa-apa, dan tak membutuhkan ketika punya apa-apa”.
Dzu-al-Nun mengatakan :
“alamat seorang hamba akan mendapat murka tuhan adalah takut fakir”.
Menurut syibli hakikat fakir itu ;
“Adalah orang yang tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Alloh”
Menurut Abu baker al-Mishri
“fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”,
Jadi pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah mulai menjahui keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting dalam hidupnya. Di dalam maqam fakir telah sampai puncaknya, yaitu mengosngkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja sealain tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathir al-qolbi bi ‘l-kulliyati’an ma siswa ‘llah”. Yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah ajaran qath’u al-ala’iq atau tajrid yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia.
Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang dunia itu sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan “tidak punya apa-apa dan juga tidak menginginkan apa-apa”.
5. Maqam Sabar
Dalam islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam al-Qur’an dinyatakan sabar merukan laku yang terpuji dan merupakan perintah suci agama.
Jadi penguasaan diri dan bersabar dalam waktu mengalami kesempitan, susah, penderitaan, tantangan dan perang, adalah mentalitas Islam. Sikap sabar di tinggikan sebagai mentalitas sikap seorang mukmin dan muttqin, seperti di jelaskan dalam surat Al-Baqarah, ayat 153 yang artinya “hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar”.
Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Sebagai satu maqam dalam tasawuf direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep yang diungkapkan dalam berbagai pengertian.
Ibnu ‘Atha misalnya mengatakan :
Sabar adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela.
Dan dikatakan pula bahwa sabar adalah fana’ di dalam balai bencana tanpa ada keluhan:
Bergulat dengan kesengsaraan tanpa ada keluhan.
Jadi dengan maqam sabar para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hiduonya dengan sikap sabar, tanpa ada kesulitan. Itulah laku maqam sabar di dalam tasawuf.
6. Maqam Tawakkal
Dalam syariat islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankanya. Jadi yang ditawakkalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Alloh adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar dilakukanya. Yakni tawakkal yang di landasi oleh aktif kerja keras. Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Alloh. Oleh karena itu sesuai cita ajaran tasawuf tawakkal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah ke paham jabbariyah mutlak. Yakni tawakkal tanpa memikirakan usaha, orang harus sepenuhnya mengantungkan diri sepenuhnya kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Alloh.
Dalam Risalah Qusyairiyah diterngkan bahwa Sahlu Bin Abdulloh mengatakan;
Permulaan dari maqam tawakkal itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Alloh yang maha kuasa laksana mayat di depan oaring yang memandikan, di bolak-balikan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiar.
Seterusnya dalam Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa Hamdun mengatakan:
Tawakkal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Alloh sepenuhnya.
Abd al-Dayim dalam bukunya Al-Tashawuf al-islami Bain al-falsafat wa al-Din mengatakan tentang maqam tawakkal sebagai berikut :
Dalam ordo-ordo tarekat, tawakkal ini diterapkan terhadap guru tarekat yang membuat mereka juga seperti kutipan tersebut di atas. Yakni para murid harus melepaskan kemauan pribadinya, dan berserah diri pada syaih (gurunya) disuruh apa saja harus tunduk.
7. Maqam Ridlo
Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.
Dalam ajaran kawruh beja Suryamataram ridlo itu dirumuskan dalam ungkapan “aku saiki neng kene ngene, gelem” jadi dengan maqam ridlo segala derita dan percobaan tuhan ditanggapinya sebagai rahmat nikmt Alloh. Dalam risalah al-Qusyairiyah misalnya diceritakan ada seorang sufi yang selama hidupnya selalu bermuram hati dan tidak pernah tertawa terkecuali setelah kematian anak satu-satunya. Tertawa lantaran syukur diberi cobaan yang paling akbar di dunia bisa diatasinya (kuat), dan bahkan cobaan itu bisa di tanggapinya sebagai nikmat. Masih diperhatikan Tuhan, yakni masih mau menegurnya melalui cobaan tadi.
Mengenai maqam ridlo ini dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai dengan renungan took sufi itu sendiri.
Misalnya Ruwaim mengatakan :
Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya.
Ibnu Khafif mengatakan tentang ridlo adalah :
“Kerelaan hati menerima ketentuan tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”.
Abu Bakar Thahir mengatakan :
“Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam hatinya”.
Al-Nuri mengatakan :
”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”.
Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo:
”Jika dia telah telah gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.
Dengan mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan sebenarnya masih banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas, jelas sekali maqam-maqam ini erat dengan laku (mujahadah) pembinaan moral sikap hidup dan mentalitas para sufi. Bahwa kunci segala bentuk laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan adalah nafsu tamak dan serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka langkah menjahui keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak langsung pasti merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.
Hanya saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf pembinaan kelurusan pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang pada dasarnya berwatak eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan Negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur; menjadi berwatak egois kerohanian. Menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhanya.
Metode mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para sufi semisal al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat jitu untuk menemukan jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh SWT. Bisa dihayati dengan terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman pertama kitab ihya’ Ulum al-Din juz III “man arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhanya
Maqam sabar, maqam tawakkal, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakkal, dan maqam ridlo (rela).
Maqam ke tujuh adalah maqam puncak yakni pembebasan hati dari segala ikatan dunia.yaitu menciptakan suasana hati yang netral dan memandang sepele terhadap dunia.
Ihsanuddin dalam kitab makrifat misalnya menyetir suatu syair yang menggambarkan sikap sufi terhadap dunia sebagai berikut:
# setiap apa yang dicipta Alloh, serta apa yang belum tercipta, tak berharga dalam hatiku, harta seperti sehelai rambut yang terlepas dari kepalaku #
Dalam kitab hikam diungkapkan suatu syair yang artinya sebagai berikut:
# seseorang hamba merdeka selama berjiwa qona’ah, sebaliknya seorang yang merdeka jadi hamba (budak) bila berkeinginan. Maka berqona’alah dan jangan tamak, tak ada sesuatu yang aib selain banyak keinginan #
Dalam ajaran tasawuf dunia (apa yang selain tuhan) itu di ibaratkan wanita bahu laweyan, yang molek tapi siapa yang mengawini tentu segera binasa. Hal ini diungkapkan dalam syair Bahar Thawil yang artinya sebagai berikut;
#apakah kamu ingin mengawini si laila sedangkan kamu tahu bahwa setiap yang mengawini dia tentubinasa #
Menurut al- Ghozali setiap sufi yang ingin mendapatkan penghayatan makrifat pada tuhan sementara waktu menempuh jalan kepada tuhan harus sanggup membelakangi dunia secara keseluruhan, karena makrifat pada tuhan tidak bisa di madu dengan dunia.
Fatwa ini didasari suatu hadist sewaktu emas belum di haramkan bagi pria, pernah suatu waktu nabi membuang cincin emas di tengah-tengah khotbah beliau. Sesudah turun dari mimbar menjawab pertanyaan hal itu di lakukan karena cincin itu menganggu konsentrasi ibadah khotbah beliau.
Upaya pemutusan ikatan keduniaan ini di mulai dengan pengalaman :
1. Maqam Taubat.
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat di kembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan orang khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan :
“Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari ghoflah (lalai mengingat tuhan)”.
Bagi golongan khowas atau orang yang telah sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa.
Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghoflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaranntasawuf adalah apabila telah tercapai maqam “attaubatu min taubatihii” yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan keasadaran akan taubatnya itu sendiri.
2. Maqam wara’
Dalam risalah al-qusyairiyah banyak membahas tentang makam wara’ beserta pandangan atau rumusan para sufi tentang hal ini. Wara’ adalah meninggalkan hal yang syubhat: tarku syubhat yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.
Abu bakar as-shiddiq mengatakan “Kami tinggalkan tujuh puluh pintu menuju yang halal lantaran takut jatuh pada satu pintu menuju haram”.
Wara’ memang salah-satu sendi etika islam yang sangat penting, oleh karena itu nabi bersabda yang artinya “Ibadah itu sepuluh suku, Sembilan dari padanya dalam mencari halal”. Jadi Sembilan persepuluh dari ibadah adalah mencari halal.
Pada hadist lain nabi bersabda yang artinya “hendaknya kamu menjalankan laku wara’, agar kamu jadi ahli ibadah”. Laku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas ke-islaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merukan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.
Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Alloh. Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Alloh ta’ala.
Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.
3. Maqam zuhud
sesudah maqam wara’ di kuasai mereka baru berusaha mengapai maqam (station) di atasnya, yakni maqam zuhud. Berbeda dengan wara’ yang pada dasarnya merupakan laku menjahui yang syubhat dan setiap yang haram, maka zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi.
Dalam hal ini ‘Abdul Hakim Hasan dalam bukunya al-Tashawuf fi al-Arabi mengatakan sebagai berikut :
Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasaranya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Inilah makna agamis daripada zuhud. Nabi bersabda: “jika kamu melihat seseorang dianugerahi zuhud di dunia dan cerdas nalarnya, maka kau dekatilah dia, bahwasanya dia adalah orang bijaksana……Dikatakan zuhud adalah setengah dari firman Alloh: “(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu; dan supaya kamu jangan selalu gembira terhadap apa yang diberikanya padamu” (al-qur’an, 57 ;23). Maka seorang zahid tidak gembira dengan dunia yang ada di tanganya, dan juga tidak bersedih hati dengan hilangnya dunia dari tanganya. Abu ustman berkata; “zuhud kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapa yang mengambilnya”.
Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi.
Misalnya Abu Sulaiman aal-Darani mengatakan :
“Sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu tentang zuhud. Maka tidak pantas mengenakan kain suf dengan uang tiga dirham di tanganya kok dalam hatinya menginginkan lima dirham”.
Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan :
“zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Alloh”.
Ruwaim mengatakan:
“zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati”.
4. Maqam Fakir
Mengenai maqam fakir, R.A.Nicholson dalam bukunya the mystics of islam mengatakan :
Fakir dan dervish adalah nama-nama di mana para sufi bangga untuk disebutnya, karena kedua itu bahwa dialah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan pikiranyan daripada tuhan. Kosongnya seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan kehidupan yang akan dating, dan tidak menghendaki apapun kecuali tuhan penguasa kehidupan masa kini dan masa yang akan dating-itulah fakir yang sesungguhnya. Fakir yang sedemikian itu adalah orang yang lenyap kesadaran keberadaan dirinya, sehingga dirinya tidak mendaku punya kemampuan, perasaan, dan perbuatan.
Di terngkan bahwa Dawud al-Thail tidak punya apa-apa terkecuali rumput kering untuk tikar, sebuah bata sebagai bantal, dan sebuah mangkok untuk minum dan mencuci.
Sebagai salah satu maqam dalam ajaran tasawuf maka fakir juga mendapat pembahasan perumusan yang bertingkat-tingkat disesuaikan dengan tujuan penyucian hati terhadap ikatan keduniaan. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah maqam fakir ini dibahas agak panjang lebar. Di antara perumusan-perumusan tentang fakir,
Misalnya al-muzayin mengatakan;
“jalan menuju Alloh itu lebih banyak dari bilangan bintang di langit, tak ada yang ketinggalan daripadanya terkecuali satu jalan saja, yaitu fakir, itulah yang paling lurus dari segala jalan”.
Al-Nuri mengatakan :
“sifat orang fakir itu diam saja ketika tak punya apa-apa, dan tak membutuhkan ketika punya apa-apa”.
Dzu-al-Nun mengatakan :
“alamat seorang hamba akan mendapat murka tuhan adalah takut fakir”.
Menurut syibli hakikat fakir itu ;
“Adalah orang yang tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Alloh”
Menurut Abu baker al-Mishri
“fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”,
Jadi pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah mulai menjahui keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting dalam hidupnya. Di dalam maqam fakir telah sampai puncaknya, yaitu mengosngkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja sealain tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathir al-qolbi bi ‘l-kulliyati’an ma siswa ‘llah”. Yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah ajaran qath’u al-ala’iq atau tajrid yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia.
Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang dunia itu sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan “tidak punya apa-apa dan juga tidak menginginkan apa-apa”.
5. Maqam Sabar
Dalam islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam al-Qur’an dinyatakan sabar merukan laku yang terpuji dan merupakan perintah suci agama.
Jadi penguasaan diri dan bersabar dalam waktu mengalami kesempitan, susah, penderitaan, tantangan dan perang, adalah mentalitas Islam. Sikap sabar di tinggikan sebagai mentalitas sikap seorang mukmin dan muttqin, seperti di jelaskan dalam surat Al-Baqarah, ayat 153 yang artinya “hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar”.
Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Sebagai satu maqam dalam tasawuf direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep yang diungkapkan dalam berbagai pengertian.
Ibnu ‘Atha misalnya mengatakan :
Sabar adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela.
Dan dikatakan pula bahwa sabar adalah fana’ di dalam balai bencana tanpa ada keluhan:
Bergulat dengan kesengsaraan tanpa ada keluhan.
Jadi dengan maqam sabar para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hiduonya dengan sikap sabar, tanpa ada kesulitan. Itulah laku maqam sabar di dalam tasawuf.
6. Maqam Tawakkal
Dalam syariat islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiar dijalankanya. Jadi yang ditawakkalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Alloh adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiar dilakukanya. Yakni tawakkal yang di landasi oleh aktif kerja keras. Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Alloh. Oleh karena itu sesuai cita ajaran tasawuf tawakkal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah ke paham jabbariyah mutlak. Yakni tawakkal tanpa memikirakan usaha, orang harus sepenuhnya mengantungkan diri sepenuhnya kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Alloh.
Dalam Risalah Qusyairiyah diterngkan bahwa Sahlu Bin Abdulloh mengatakan;
Permulaan dari maqam tawakkal itu adalah seorang hamba (manusia) di depan Alloh yang maha kuasa laksana mayat di depan oaring yang memandikan, di bolak-balikan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiar.
Seterusnya dalam Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa Hamdun mengatakan:
Tawakkal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Alloh sepenuhnya.
Abd al-Dayim dalam bukunya Al-Tashawuf al-islami Bain al-falsafat wa al-Din mengatakan tentang maqam tawakkal sebagai berikut :
Dalam ordo-ordo tarekat, tawakkal ini diterapkan terhadap guru tarekat yang membuat mereka juga seperti kutipan tersebut di atas. Yakni para murid harus melepaskan kemauan pribadinya, dan berserah diri pada syaih (gurunya) disuruh apa saja harus tunduk.
7. Maqam Ridlo
Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.
Dalam ajaran kawruh beja Suryamataram ridlo itu dirumuskan dalam ungkapan “aku saiki neng kene ngene, gelem” jadi dengan maqam ridlo segala derita dan percobaan tuhan ditanggapinya sebagai rahmat nikmt Alloh. Dalam risalah al-Qusyairiyah misalnya diceritakan ada seorang sufi yang selama hidupnya selalu bermuram hati dan tidak pernah tertawa terkecuali setelah kematian anak satu-satunya. Tertawa lantaran syukur diberi cobaan yang paling akbar di dunia bisa diatasinya (kuat), dan bahkan cobaan itu bisa di tanggapinya sebagai nikmat. Masih diperhatikan Tuhan, yakni masih mau menegurnya melalui cobaan tadi.
Mengenai maqam ridlo ini dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai dengan renungan took sufi itu sendiri.
Misalnya Ruwaim mengatakan :
Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya.
Ibnu Khafif mengatakan tentang ridlo adalah :
“Kerelaan hati menerima ketentuan tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”.
Abu Bakar Thahir mengatakan :
“Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam hatinya”.
Al-Nuri mengatakan :
”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”.
Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo:
”Jika dia telah telah gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.
Dengan mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan sebenarnya masih banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas, jelas sekali maqam-maqam ini erat dengan laku (mujahadah) pembinaan moral sikap hidup dan mentalitas para sufi. Bahwa kunci segala bentuk laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan adalah nafsu tamak dan serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka langkah menjahui keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak langsung pasti merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.
Hanya saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf pembinaan kelurusan pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang pada dasarnya berwatak eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan Negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur; menjadi berwatak egois kerohanian. Menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhanya.
Metode mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para sufi semisal al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat jitu untuk menemukan jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh SWT. Bisa dihayati dengan terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman pertama kitab ihya’ Ulum al-Din juz III “man arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah mengenal jati dirinya, tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar