Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam
menentukan perjuangan rakyat Aceh. Memang sejak dulu bangsa Aceh sangat akrab
dengan syair-syair perjuangan Islam, sajak-sajak akan sebuah hakikat keadilan.
Hikayat ini selalu diperdengarkan ke setiap telinga anak-anak aceh, laki-laki,
perempuan, tua muda, besar kecil dari zaman ke zaman dalam sejarah Aceh
Sepanjang Abad.
Kalau kita belajar dari sejarah, maka Aceh lah negeri yang
paling ditakuti oleh Portugis dan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda sejak
tahun 1873 serta Jepang. Beribu macam taktik perang yang digunakan oleh para
penjajah tetapi tidak dapat menguasai Aceh yang unggul dengan taktik perang
gerilyanya. Sejarah mencatat bahwa perang kolonial di Aceh adalah yang paling
alot, paling lama, dan paling banyak memakan biaya perang dan korban jiwa
penjajah.
Pengaruh hikayat perang sabil hasil karangannya, telah mampu
membangkitkan semangat jihad siapa saja yang membaca ataupun mendengarnya untuk
terjun ke medan perang melawan penjajahan Belanda ketika itu. Sehingga Zentgraf
dalam bukunya “Aceh” (1983) menulis banyak pemuda yang memantapkan langkahnya
ke medan perang Aceh melawan Belanda karena pengaruh buku hikayat perang sabil
yang sengaja ditulis seorang ulama besar Aceh bernama Tgk. Muhammad Pante Kulu.
Menurut Zentgraf, hikayat perang sabil karangan ulama Pante
Kulu telah menjadi momok yang sangat ditakuti oleh Belanda, sehingga siapa saja
yang diketahui menyimpan-apalagi membaca hikayat perang sabil itu mereka akan
mendapatkan hukuman dari pemerintah Hindia Belanda dengan membuangnya ke Papua
atau Nusa Kembangan. Sarjana Belanda ini menyimpulkan, bahwa belum pernah ada
karya sastra di dunia yang mampu membakar emosional manusia untuk rela
berperang dan siap mati, kecuali hikayat perang sabil karya Pante Kulu dari
Aceh. Kalau pun ada karya sastrawan Perancis La Marseillaise dalam masa
Revolusi Perancis, dan karya Common Sense dalam masa perang kemerdekaan
Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh hikayat perang
sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu.
Itu sebabnya, Ali Hasjmy menilai bahwa hikayat perang sabil
yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu telah berhasil menjadi karya sastra puisi
terbesar di dunia. Menurut Hasjmy, pengaruh syair hikayat perang sabil sama
halnya dengan pengaruh syair-syair perang yang ditulis oleh Hasan bin Sabit
dalam mengobarkan semangat jihad umat Islam di zaman Rasulullah. Atau paling
tidak, hikayat perang sabil karya Chik Pante Kulu dapat disamakan dengan illias
dan Odyssea dalam kesusastraan epos karya pujangga Homerus di zaman “Epic Era”
Yunany sekitar tahun 700-900 sebelum Mesehi.
Mengapa hikayat perang sabil begitu berpengaruh dalam
membangkitkan semangat jihat perang orang Aceh melawan Belanda. Menurut
telaahan, hikayat perang sabil yang ditulis Chik Pente Kulu ini terdiri dari
empat bagian (cerita). Pertama, mengisahkan tentang Ainul Mardhiah, sosok
bidadari dari syurga yang menanti jodohnya orang-orang syahid yang berperang di
jalan Allah. Kedua, mengisahkan pahala syahid bagi orang-orang yang tewas dalam
perang sabil. Ketiga, mengisahkan tentang Said Salamy, seorang Habsi berkulit
hitam dan buruk rupa. Keempat, menceritakan tentang kisah Muda Belia yang
sangat mempengaruhi jiwa para pemuda untuk berjihat di medan perang melawan
kezaliman penjajahan Belanda.
Ada dua Versi pendapat tentang Tgk. Chik Pente Kulu dalam
mengarang hikayat perang sabil ini. Sebagian mengatakan, hikayat perang sabil
ini dikarang Chik Pante Kulu ketika beliau dalam perjalanan pulang dari Mekkah
ke Aceh. Berarti hikayat perang sabil ditulis Chik Pante Kulu di atas kapal
selama dalam pelayarannya dari Arab ke Aceh. Pendapat lain mengatakan, hikayat
perang sabil ini ditulis Chik Pante Kulu adalah atas suruhan Tgk. Chik Abdul
Wahab Tanoh Abee yang lebih dikenal Tgk. Chik Tanoh Abee.
Karena, pada waktu Tgk. Muhammad Saman Ditiro meminta izin
pada Tgk. Chik Tanoh Abee untuk berperang melawan Belanda. Maka saat itu Tgk.
Chik Tanoh Abee menanyakan pada Tgk. Chik Ditiro: “Soe yang muprang dan soe
yang taprang?”. Chik Ditiro menjawab: “Yang muprang Muhammad Saman, yang
taprang kafe Belanda”. Menurut hikayat marga tanoh abee, sekiranya waktu itu
Chik Ditiro menjawab, yang muprang ureung Islam, yang taprang Belanda.
Kemungkinan Tgk. Chik Tanoh Abee tidak merestui Chik Ditiro untuk berperang,
karena kalau orang Islam yang berperang, karena di kalangan orang Islam sendiri
masih banyak yang harus diperangi, yaitu orang-orang yang bukan Islam sejati.
Tetapi karena jawaban Tgk. Chik Ditiro: yang muprang
Muhammad Saman dan yang taprang kafe Belanda, maka Tgk. Chik Tanoh Abee
merestui Tgk. Chik Ditiro menggerakkan peperangan untuk melawan Belanda. Dalam
mendukung gerakan perang ini Tgk. Chik Tanoh Abee mengarang khusus hikayat
perang sabil dalam bahasa Arab untuk pimpinan-pimpinan perang. Sedangkan untuk
lasykar perang hikayat perang sabilnya dikarang oleh Tgk. Chik Pante Kulu dalam
huruf Jawi berhasa Aceh, yang kemudian hikayat perang sabil karangan Tgk. Chik
Pante Kulu ini membawa pengaruh luar biasa dalam membangkitkan semangat jihad
lasykar Aceh berperang melawan Belanda.
Salah satu bagian paling penting dari Hikayat Prang Sabi
adalah pendahuluan atau mukadimah. Bagian yang juga berbentuk syair ini
menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya Hikayat Prang Sabi, dalam
hubungannya dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian
kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada
seruan untuk perang Sabil. Juga disebutkan satu pahala yang dapat diperoleh
bagi mereka yang berjihad dalam perang Sabil (jalan Allah-Red). Salah satu
pahala yang akan diterima mereka yang mati syahid dalam perang tersebut adalah
akan bertemu dengan dara-dara dari surga ( Bidadari ).
HIKAYAT PRANG SABI
Salam alaikom walaikom teungku meutuah
Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe
Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah
Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi....
Ureueng syahid la syahid bek ta khun matee
Beuthat beutan lee...ya Allah nyawoung lam badan
Ban saree keunueng la keunueng senjata kafee la kafee
Keunan datang...ya Allah pemuda seudang...
Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe
Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi
Gugor disinan-disinan neuba u dalam-u dalam
Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi...
Ija puteh la puteh geusampoh darah
Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki
Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan
Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee...
Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadoh di badan
Geuganto le tuhan...ya Allah deungan kasturi
Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang
Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia...
Subhanallah wahdahu wabi hamdihi
Khalikul badri wa laili adza wa jalla
Ulon peujoe Poe sidroe Poe syukoe keu rabbi ya aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia...
Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi
Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa
Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh
Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka...
Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teuboh
Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata
Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin
Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia...
Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang
Allah peulang dendayang budiadari
Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi...
Budiyadari meuriti di dong dji pandang
Di cut abang jak meucang dalam prang sabi
Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang
Dji peurap rijang peutamong syuruga tinggi...
Tidak mengherankan, Sehingga kemudian penyair Taufik Ismail
mengabadikan kehebatan hikayat perang sabil karya Tgk. Chik Pante Kulu ini
dalam sebuah syair panjangnya berjudul : “Teringat Hamba Pada Syuhada Kita
Dihari Kemerdekaan, Musim Haji 1406 H”. Taufik bersyair:…
Nampakkah olehmu puisi itu?
Diserahkan kepada Teungku Chik Ditiro
Di sebuah desa di dekat Sigli
Dan puisi itu berubah menjadi sejuta Rencong...
Terdengarkah olehmu?
Merdunya Al Furqan dinyanyikan
Kemudian puisi perang sabi dibacakan
Yang mendidih darah memanggang udara
Menjelang setiap pasukan terlibat pertempuran
Mengibarkan Panji fi-sabilillah…
Hamba menulis puisi juga
Tapi betapa kurus puisi hamba
Kurang sikap ikhlas hamba
Banyak ria dan ingin tepuk tangan...
Apalah artinya dibandingkan puisi Perang sabi Muhammad Pante
Kulu ...
Allah, berkahi penyair abad sembilan belas ini
Beri dia firdaus seluas langit bumi…
Begitu hebatnya Tgk. Chik Pante Kulu di mata penyair Taufik
Ismail. Sampai-sampai Taufik menilai puisi-puisi yang ditulisnya selama ini
belum memiliki arti apa-apa dibandingkan kebesaran syair hikayat perang sabil
yang ditulis Tgk. Chik Pante Kulu. Ulama dan pujanggawan kelahiran 1836 M di
Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kota Bakti, Pidie ini, telah lama
meninggalkan kita. Namun hikayat perang sabil yang ditinggalkan tetap hidup di
jiwa orang yang memang Aceh sebagai hasil karya sastra terbesar yang diakui
dunia pada zamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar